Ibu Nia, salah satu penerima daging qurban, merupakan salah satu penduduk asli Cindakko yang masih berusia 29 tahun. Di usia ini, Ibu Nia sudah memiliki 3 putra yaitu Ipung (sulung, 16 tahun), Enal, dan Amang (kembar identik berusia 5 tahun). Ibu Nia merupakan seorang Janda, oleh karena itu kini Ibu Nia menjadi satu-satunya kepala keluarga di rumahnya dan sekaligus ibu dari 3 anak-anaknya. Mereka menempati rumah itu hanya berempat dengan kondisi yang sangat sederhana.
Sehari-hari, Bu Nia banyak menghabiskan waktunya di kebun untuk mencukupi asupan makanan anak-anaknya. Ia menanam padi, jagung, labu, dan karet untuk kebutuhan harian. Bersama Ipung yang usianya masih sangat belia, mereka juga mengumpulkan kayu bakar bersama untuk bahan bakar harian.
Tak banyak penghasilan Bu Nia dalam sebulan. Ia hanya memanfaatkan hasil karet untuk dijual ke bawah bukit dan mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Berkisar 300-400 ribu adalah angka rata-rata yang dia dapatkan dari hasil karet. Ke bawah pun adalah aktivitas yang sangat jarang ia lakukan, terlebih karena anak-anaknya masih sangat kecil sehingga tak tega meninggalkan putra kembarnya di rumah begitu saja. Oleh karena itu, tak heran jika Bu Nia dan keluarga kecilnya hidup dengan kondisi yang sangat sederhana.
Meski memiliki peliharaan ayam, Bu Nia juga tak bisa menyantapnya setiap saat.
“Ini ayam saya ternak hanya untuk dipotong ketika anak-anak sakit saja. Karena kebiasaan di sini ketika ada yang sakit adalah kita harus memotong ayam dan berdoa kepada Tuhan untuk kesembuhan anak-anak kita.” Begitu tuturnya.
Suasana perayaan Iduladha di dusun Cindakko begitu sederhana. Mereka terbiasa hidup dengan kondisi apa adanya sehingga saat Iduladha tiba, selain salat Ied bersama-sama di masjid, masyarakat akan memotong ayam untuk disantap bersama kerabat dan tetangga. Oleh karena itu, kemampuan memotong sapi bagi masyarakat Cindakko adalah hal yang sulit keculai ketika mereka mendapatkan kiriman qurban dari orang-orang di luar desa.
Ketika ada daging qurban yang datang pun, masyarakat Cindakko sebisa mungkin akan menghemat ketika memakannya. Mereka memilih daging qurban untuk dikeringkan agar bisa tahan dalam jangka waktu yang lama.
Anak-anak Ibu Nia sudah terbiasa dengan lauk-pauk seadanya. Mereka tak bosan makan dengan nasi dan sayur-sayuran. Bagi mereka makan dengan daging ayam atau pun sapi adalah hal yang begitu istimewa.
Setelah berbincang cukup lama dengan Ibu Nia, sosok wanita tangguh itu tampak begitu jelas. Menghidupi anak-anaknya seorang diri dan begitu tegar dengan kondisi yang dia hadapi adalah bukti dari ketangguhannya. Bu Nia juga mendapat julukan sebagai wonder woman oleh relawan setempat yang sesekali datang berkunjung. Meski wanita, dia yang mengurus segala kebutuhan rumah yang lazimnya dilakukan oleh laki-laki di dusun Cindakko.
Ia juga pribadi yang sangat positif. Ketika diajak berbincang mengenai masa lalu, Bu Nia menjawab dengan tegas bahwa hal yang terjadi adalah pelajaran untuknya dan ia memilih untuk lekas bangkit dan berjuang bagi kebahagiaan anak-anaknya daripada terlalu lama terpuruk sendiri. Ia juga tak mau merepotkan saudara-saudaranya yang lain dan memang kondisi lokasi rumah Ibu Nia juga cukup jauh dari saudaranya yang lain.
“Saya bahagia dengan anak-anak saya. Tuhan tahu cara melindungi kami dan saya selalu berdoa untuk itu.” Ibu Nia
Mari kita sama-sama mendo’akan Ibu Nia dan Keluarga sehat selalu ya sahabat inisiator. Kita bahagiakan Ibu Nia dan Warga Dusun setempat merasakan nikmatnya daging Qurban darimu. Untuk memudahkan masyarakat menunaikan Ibadah Qurban, Human Initiative juga akan menyiapkan berbagai kanal transaksi yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Silahkan klik link ini untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.